Jumat, 11 April 2008

tentang cinta

Abdulloh ( 0857363xxxxx)
“Assalamu’alaikum Mumtaz.
Bagaimana cara menghilangkan rasa cinta (sementara ) pada orang yang kita
cintai? Tapi kita masih berdalih, “ Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li
akhihi ma yuhibbu linafsihi”.

Jawab: Dek abdullah yang dirohmati Allah. Rasa cinta atau suka -lebih-lebih tarhadap lawan jenis- hal yang sangat wajar. Sah –sah saja. Karena sudah menjadi tabiat manusia adalah mencintai dan dicintai.
Selama kita masih mengenal kehidupan, rasa cinta itu senantiasa hadir menjelma. Menghiasi kisi-kisi kehidupan kita. Tanpa cinta kehidupan tiada bermakna. Benarkan?! Persoalannya, bilamana jika cinta itu hadir sebelum waktunya dan matang sebelum tiba masanya? Sering kali cinta terlalu matang dipaksakan, sehingga rasa, harum, warna tak seindah yang kita impikan. Kita tahu, ujung dari cinta itu adalah kepada Allah. Melabuhkan cinta selain-Nya hanyalah kombinasi dari cinta itu sendiri. Jika cinta kepada lawan jenis mulai menghinggapi relung hati kita kembalilah kepada Allah. Tidak kalah penting adalah mengindari frekuensi pertemuan dengan si ”dia”. Kalau bisa memutuskan dengan si dia atau menghilangkan jejak darinya. Suatu saat jika telah siap nikah segera jemput dia tuk dijadikan bidadari disampingnya. So, dalil di atas tidak pas dipakai untuk mencintai lawan jenis lebih-lebih dijadikan ”pacar”. Wallahu a’lam bishshowab.

Kamis, 10 April 2008

tentang jilbab

Assalmu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh, Kak Mumtaz mau tanya, kalau wanita tidak memakai jilbab itu apakah termasuk dosa? Terus kalau sudah berjilbab, tapi karena keadaan, misalnya tuntutan kerja harus dilepas, itu bagaimana? Terima kasih.
Nur Aini, +628566336xxx

Jawaban
Wa'alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh.
Dik Nur Aini yang semoga dirohmat Alloh . Sesungguhnya seorang wanita muslimah akan menemukan bahwa di dalam hukum Islam ada perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya agar dapat menjaga kesuciannya, agar dapat menjadi wanita mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi.
Dan syarat-syarat yang diwajibkan pada pakaian dan perhiasannya tidak lain adalah untuk mencegah kerusakan yang timbul akibat tabarruj (berhias diri) dan menjaga dirinya dari gangguan orang-orang. Syariat Ini pun bukan untuk mengekang kebebasannya akan tetapi sebagai pelindung baginya agar tidak tergelincir pada lumpur kehinaan atau menjadi sasaran sorotan mata dan pusat perhatian. Sedangkan menutup aurot, dalam hal ini memakai jilbab adalah wajib bagi setiap muslimah yang telah masuk usia baligh. Kemudian sebelum menjawab pertanyaan, perlu kita pahami, salah satu hukum dalam Islam yaitu wajib, secara umum berarti, apabila ditinggalkan mendapat dosa dan apabila dikerjakan maka berpahala. Jadi apabila wanita muslimah yang sudah baligh tidak berjilbab, maka hukum ini berlaku, yaitu wajib dan berdosa apabila ia tidak mengerjakannya.
Mengenai melepas jilbab karena tuntutan kerja, dalam syariat Islam tidak diperbolehkan dan dihukumi haram, karena hal ini lebih banyak mendatangkan madhorot (kerugian) daripada manfaat. Kalau hanya karena sebuah pekerjaan/ karier, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat. Dan tidak ada alasan apapun bagi seorang wanita muslimah yang sudah baligh untuk membuka aurotnya. Adapun dalam Islam, wanita tidak dianjurkan untuk bekerja di luar rumah. Bahkan hukum wanita berjamaah ke masjid tidak wajib sebagaimana kaum laki-laki. Karena fitnah yang ditimbulkan oleh wanita di luar rumah adalah lebih besar daripada laki-laki. Oleh karena itu, tidak seharusnya seorang wanita sering-sering keluar rumah tanpa mahrom, kecuali yang dibenarkan syariat, misalnya keluar untuk menuntut ilmu.
Jadi, kesimpulan dari jawaban kami adalah, berjilbab itu wajib. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurot wanita.” (QS. An Nuur : 31)
Wallohu A’lamu Bishshowwab. –(Teks pertanyaan telah disesuaikan dengan EYD)